SUARA INDONESIA, BANGKALAN - Adanya informasi dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) mengenai dugaan pemotongan anggaran akomodasi pemilu, Pengamat Pemilu Independen (PPI) meminta Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) untuk menelusuri perkara tersebut.
Pasalnya, potongan anggaran akomodasi TPS merupakan tindakan pelanggaran pidana. Bahkan, tindakan itu mengarah pada perbuatan koruptif.
Yodika Saputra mengaku telah melakukan penelusuran hampir di seluruh kecamatan di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur. Hampir seluruhnya terindikasi adanya potongan anggaran akomodasi pada tingkat KPPS. Perbuatan itu diduga juga terorganisir dan dilakukan oleh lembaga di tingkat atasnya.
"Ada dugaan pengkondisian terstruktur dan masif terhadap perbuatan itu. Kita dapat info diduga dilakukan oknum PPS. Bahkan, oknum PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) diduga juga ikut terlibat," kata Yodika.
Dari beberapa sampel desa, KPPS tidak menerima secara utuh biaya akomodasi dan operasional saat pelaksanaan pemilu waktu lalu. Sebab, selain honor, KPPS seharusnya menerima anggaran akomodasi saat pelaksanaan pemilu.
"Sangat ironi melihat kerja KPPS yang berat. Bahkan, bisa mengorbankan nyawa. Sudah begitu, haknya pun malah tidak diterima utuh," ujarnya.
Anggaran tersebut dicairkan oleh KPU Bangkalan ke rekening masing-masing PPS sebagai honor dan akomodasi KPPS. Besarannya pun sudah ada ketentuan berdasarkan surat edaran sekretaris jenderal KPU dan KPU Jawa Timur.
"Kalau honor rata-rata diterima utuh. Nah, anggaran akomodasi saat pelaksanaan pemilu di TPS ini yang rawan dikorupsi. Diduga telah dipotong oleh oknum PPS. Mereka diduga juga dapat tekanan oleh oknum PPK untuk melakukan perbuatan itu," jelasnya.
Salah satu ketua KPPS di wilayah Pantura mengaku tidak tahu pasti besaran yang seharusnya diterima KPPS. Sebab, PPS hanya memberi anggaran untuk keperluan penyelenggaraan pemilu di TPS sesuai kehendak PPS. Tidak berdasarkan aturan yang telah ditetapkan.
"Kami hanya terima Rp 1,5 juta untuk semua biaya saat pencoblosan di TPS. Untuk makannya disediakan oleh PPS. Sehari makan 2 kali. Uang itu di luar honor," ungkapnya.
Bahkan lebih parah lagi, ada KPPS yang hanya terima anggaran Rp 1 juta dari PPS. Anggaran tersebut digunakan untuk seluruh keperluan saat pencoblosan 14 Februari 2024 lalu. Itu pun masih dipotong biaya materai Rp 200 ribu.
Tak hanya itu, saat diminta informasi terhadap salah satu ketua PPS yang tak mau disebutkan identitasnya. Ia pun tak menampik keterlibatan oknum PPK yang meminta jatah dari PPS.
"Alasannya untuk biaya operasional. Kebutuhan pengamanan dan sebagainya," sebutnya.
Dengan banyaknya temuan di lapangan, Yodika mendesak agar Bawaslu bersama Sentra Gakkumdu berkoordinasi untuk menginvestigasi persoalan ini. Sebab, persoalan ini disinyalir terjadi secara terstruktur dan masif dilakukan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Bahkan, perbuatan ini sudah mengarah pada kelakuan mafia pemilu. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Moh.Ridwan |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi