SUARA INDONESIA, BANYUWANGI - Ratusan siswa SMAK dari Badan Pendidikan Kristen (BPK) Penabur Jakarta turun gunung ke Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (25/3/2024).
Mereka blusukan ke rumah-rumah warga yang mayoritas buta aksara di wilayah Kampoeng Batara Papring, Kalipuro, Banyuwangi.
Warga di lingkungan setempat dulunya rata-rata penyandang buta aksara. Namun berkat kehadiran Sekolah Adat Kampoeng Batara perlahan mereka mulai bisa baca, tulis, dan berhitung.
Didampingi pengasuh dan para guru, kehadiran siswa BPK Penabur Jakarta ini untuk membantu proses belajar mengajar, memperluas wawasan, serta pengalaman.
Ketua Umum Yayasan BPK Penabur, Adri Lazuardi mengatakan, total adal 144 siswa SLTA BPK Penabur dengan 17 guru pendamping yang ikut berpartisipasi.
Ia menyebut, selama lima hari para siswa belajar mengeksplorasi potensi yang ada di Banyuwangi. Diantaranya belajar mengolah kopi di Gombengsari hingga mengajar warga buta aksara di Papring.
“Kami ingin menanamkan pemikiran bahwa mereka (siswa) harus kontribusi kepada bangsa dan negara melalui apa yang mereka lakukan,” kata Adri.
Kegiatan bertajuk Spirit of Challenge itu, kata Adri, pertama kali dilakukan di Banyuwangi. Kabupaten di ujung timur Pulau Jawa itu sengaja dipilih bukan tanpa alasan.
“Banyuwangi adalah destinasi wisata yang perlu kita tonjolkan. Saya rasa banyak (potensi) dari Banyuwangi yang perlu diketahui juga oleh siswa-siswa kita,” ungkapnya.
Di hadapan para siswa dari Jakarta itu, Pendiri Kampoeng Batara, Widie Nurahmudy menuturkan, berdirinya sekolah di sana awalnya tidak terlepas dari kondisi warga sekitar.
Dulunya warga di Papring menganggap bahwa pendidikan hanya sebelah mata, pernikahan dini merajalela, buta aksara menyeluruh di lingkungan setempat.
Kehadiran Sekolah Adat Kampoeng Batara perlahan bisa mengubah paradigma dari warga sekitar. Pernikahan dini bisa ditekan dan warga buta aksara juga perlahan bisa melek.
“Sembilan tahun kami berjuang. Alhamdulilah, bisa satunya mengurangi angka pernikahan anak, karena pendidikan yang merata,” cetusnya.
Widie menyebut, ada puluhan anak mulai tingkat SD, SMP, SMA bahkan sudah kuliah masih belajar sekolah non-formal di Kampoeng Batara. Sementara warga yang dijaring mendapatkan pendidikan aksara mencapai 200 orang.
“Untuk menjangkau itu semua, kita harus keluar masuk hutan. Karena jaraknya tidak dekat, 2-3 kilometer guna menjaring ibu-ibu dan bapak-bapak yang buta aksara. Tapi mereka sudah melek aksara semua,” bebernya.
Para siswa yang membantu mengajar di Kampoeng Batara mengaku tertantang, karena harus menghadapi warga yang berbeda latar belakang budaya.
“Baru pertama kali mengajar ke daerah, kesan saya tertantang. Kesulitan kami di bahasa. Karena ada Jawa dan Madura di sini. Tapi semua teratasi dengan. Kami juga belajar dari masyarakat di sini,” aku Moses, salah satu siswa.
Pria berusia 17 tahun yang duduk di bangku kelas 11 ini juga mengaku banyak mendapat ilmu, mulai kearifan lokal di lingkungan sekitar hingga kekayaan budaya yang ada. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Muhammad Nurul Yaqin |
Editor | : Mahrus Sholih |
Komentar & Reaksi