SUARA INDONESIA, IDI - Aceh Institute menggelar diskusi kelompok terarah bertajuk “Tingkat Kepatuhan terhadap Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Aceh Timur” pada Jumat, 23 Februari 2024.
Acara ini digelar untuk mempublikasi serta mendiskusikan temuan survei yang dilakukan Aceh Institute di Aceh Timur beberapa waktu lalu.
Kegiatan berlangsung di Aula Bappeda Aceh Timur, Jumat (23/2/2024). Dihadiri oleh perwakilan OPD dan tokoh masyarakat setempat.
Direktur Aceh Institute Muazzinah menyebutkan bahwa, hasil survei yang dipublikasikan setelah Aceh Timur memiliki regulasi KTR. Tujuannya untuk melihat sejauh mana tingkat kepatuhan warga dalam KTR setelah adanya regulasi yang mengatur persoalan itu di kabupaten mereka.
Dari survei diketahui, ada tiga jenis pelanggaran yang paling banyak ditemukan di Aceh Timur. Pertama tidak adanya tanda atau rambu dilarang merokok. Jumlah tempat yang tidak punya rambu adalah 73,5 persen dari total 200-an lokasi umum yang disurvei.
Kedua, terciumnya bai asap rokok. Ketika, adanya asbak rokok. Namun, temuan positif ada pula. Di fasilitas pendidikan dan main anak ditemukan tingkat kepatuhan yang tinggi, artinya tidak adanya pelanggaran.
Kendala penerapan KTR di Aceh Timur adalah Perbup Aceh Timur Nomor 33 Tahun 2019 yang tidak mengatur sanksi jika ada pelanggara. Oleh karenanya, efektivitas penerapan KTR di Aceh Timur akan lebih baik apabila bentuk regulasi tersebut dinaikkan statusnya menjadi Qanun atau Peraturan Daerah.
Asisten 2 Pemerintah Kabupaten Aceh Timur Dr. Darmawan M. Ali menjelaskan, Pemerintah memang sudah memiliki komitmen untuk meningkatkan regulasi KTR di Aceh Timur dari pergub menjadi qanun. Hal ini tengah diupayakan, tetapi saat ini sedang menunggu pelantikan dewan baru hasil Pemilu 2024.
“Setelah perangkat dewan baru tersusun nanti, kita akan cari jadwal untuk duduk bersama membahas pembentukan Qanun KTR Aceh Timur,” kata Dr. Darmawan.
Dr. Darmawan juga menjelaskan, cakupan area Aceh Timur cukup luas dalam konteks KTR. Ini menjadi tantangan.
Namun, keharusan menghadirkan regulasi KTR yang lebih efektif juga penting mengingat sebagian besar penduduk Aceh Timur merupakan kaum perempuan. Artinya, populasi penduduk yang paling perlu dilindungi dari paparan asap rokok lebih besar jumlahnya. Dilihat dari sisi demografis ini saja KTR memang adalah sesuatu yang cukup relevan di Aceh Timur.
Hanya saja, Dr. Darmawan meminta agar pelaksanaan regulasi baru jangan langsung ke tahap pemberian sanksi. Perlu ada penjelasan atau penyadaran terhadap warga dalam waktu tertentu.
"Pada tahap kemudian, barulah sanksi harus diberlakukan untuk menjaga ketertiban di KTR. Mengajak orang agar tertib di KTR adalah dengan memberikan contoh. Misalnya, kita tidak merokok di KTR dan merokok di smooking area." ucapnya.
Dalam kesempatan itu, Murhaban, selaku Sekretaris Dinas Kesehatan Aceh Timur berpendapat bahwa pengendalian produk tembakau di Aceh Timur mulai menjadi perhatian serius. Pemkab Aceh Timur berkomitmen menekan jumlah perokok di kalangan remaja.
"Perhatian lebih penting dari upaya pengendalian tembakau adalah untuk menekan angka stunting pada anak. Artinya, implementasi KTR ini bukan kepentingan dinas kesehatan melainkan kepentingan semua orang." Ujarnya.
Kepala Bappeda Aceh Timur Kahal Fajri mengutarakan, hak-hak kelompok populasi yang tidak merokok harus dilindungi. Hak-hak mereka berupa bebas dari paparan asap rokok, menikmati ruang serta fasilitas publik dengan udara segar, dan seterusnya.(*).
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Zulkifli |
Editor | : Imam Hairon |
Komentar & Reaksi